Evolusi Cita-Cita

Berbicara tentang cita-cita, saya merasa bahwa cita-cita saya itu ber-evolusi, seiring dengan berjalannya waktu, kenyataan, dan juga pemahaman. 

Mama pernah cerita, waktu dulu pas saya ditanya kalau sudah besar mau jadi apa, terus dengan percaya dirinya saya bilang mau jadi artis. Dikarenakan memang ketika kecil saya sudah disuguhkan dengan tayangan sinetron-sinetron, sepertinya dari situ alasannya mengapa saya mau jadi artis.

Beranjak ke Sekolah Dasar disamping saya mulai suka menulis, saya ingin menjadi seorang guru, mengapa begitu karena sepertinya menjadi guru adalah cita-cita yang menyenangkan, menjadi seorang pengantar setiap ummat manusia menuju masa depannya. 

Dan tidak sampai di situ. Cita-cita saya masih terus ber-evolusi, semakin banyaknya orang-orang yang menghargai tulisan saya yang masih jelek habis, walaupun sekarang pun nggak bagus-bagus amat sih, dan cukup banyak juga orang-orang yang menganggap bahwa aktivitas yang sering  saya lakukan itu berpotensi cukup besar untuk pada akhirnya saya bisa menjadi seorang penulis.

Saya pun bercita-cita menjadi seorang penulis, dan ini sih cita-cita yang bertahan cukup lama dan banyak sekali jatuh bangunnya, sampai pada akhirnya saya lelah sendiri, saya merasa bosan karena terlalu percaya diri di depan teman-teman saya juga orang-orang di sekitar saya, padahal kemampuan saya dalam menulis cetek sekali ditambah saya memang jarang sekali membaca buku.

Tetapi keinginan untuk memiliki galeri sendiri itu masih saja ada, sedikit. Membayangkan di galeri itu ada ruangan untuk membaca ya semacam perpustakaan begitu, terus setiap beberapa minggu sekali ada event mengundang penulis, atau sastrawan-sastrawan begitulah, atau berpuisi. Saya mengaku kalau saya penikmat sastra, meski terkadang kosakata yang sastranya terlalu tinggi, saya tidak mengerti.

Berpindah ke SMK, cukup fokus dengan program keahlian yang diambil sekolah, yaitu akuntansi, pada akhirnya memunculkan cita-cita baru. 

Sebenarnya ada yang lucu dengan pengambilan keputusan untuk memilih jurusan akuntansi ini, saya suka akuntansi tetapi saya sama sekali tidak suka matematika, statistik, atau sejenis itu. 

Yang saya mampu dan saya suka, matematika ya hanya tentang menambah, mengurang, membagi, dan mengkali, tidak sampai ke rumus-rumus yang sampai hari ini saya tidak memahami logikanya.

Beberapa kali saya mengungkapkan pernyataan itu, orang-orang malah tertawa dan biasanya memberikan kerutan dahi terlebih dahulu pada awalnya. 

Nah di waktu SMK ini saya bercita-cita ingin menjadi seorang Akuntan Publik, seorang analisis keuangan yang tak harus bekerja di bawah biro siapapun, sebenarnya ini terinspirasi dari Drama Korea yang berjudul I Hear Your Voice. Di mana alur kisahnya menceritakan tentang seorang pemeran utama yang berprofesi sebagai seorang Pengacara Publik, dan itu keren sekali.

Namun pada akhirnya dari semua cita-cita yang saya lewati itu, saya merasa kalau saya tidak memiliki kemampuan yang sungguh-sungguh disana, saya hanya sekadar bisa beberapa materi saja, tidak sampai menguasai.

Dan sepertinya yang paling mantap adalah menjadi penulis itu, dulu saya menulis karena saya ingin terkenal, tetapi ternyata sekarang saya punya pemahaman sendiri, terkenal itu nggak semudah yang dibayangkan, banyak penulis yang terkenal dan dia nggak berharap itu sama sekali, jadi sekarang saya memilih untuk tidak berharap banyak-banyak, karena ketika menengok pada kenyataan, rasanya akan sakit sekali.

Ingat sekali waktu itu, pertama kalinya penerbitan indi di facebook merajalela sekali, dan masih menjadi sesuatu yang baru waktu itu, berbagai perlombaan diadakan oleh publisher-publisher indi ini.

Saya pun turut mengikutinya, sampai-sampai saya tergiur sekali untuk menerbitkan sebuah karya tulis di sana, mengumpulkan uang sejumlah tiga ratus ribu untuk anak SMK itu adalah suatu perjuangan yang luar biasa, sampai pada akhirnya saya meminta setengah kepada Mama.

Dari sanalah saya juga dapat pembelajaran bahwa ya kalau nggak bisa sekarang, jangan maksain juga, yang paling nggak enak sih jadi ngerepotin Mama sama Bapak.

Setelah diketahui kalau saya ternyata ditipu oleh penerbit itu, akhirnya saya diam cukup lama meskipun setelah itu saya menerbitkan buku di penerbit indi yang lain. Diam cukup lama disini, saya mempasivkan kegiatan menulis saya yang biasanya sampai larut malam dan setiap hari saya pasti menulis.

Nah, akhir-akhir SMK itu kan saya memutuskan untuk berhijrah, pemahaman saya pun berubah lagi, dan sampai pada hari ini ketika ditanya cita-citanya mau jadi apa, dengan tersenyum saya menjawab kalau cita-cita saya ingin menjadi ibu rumah tangga.

Ya mungkin itu nggak kalah bikin dahi berkerut berlapis-lapis ya dan sedari sekarang pun saya sudah mulai mencoba menyampaikan kepada Mama bahwa jangan sampai berharap terlalu besar anaknya ini bisa menjadi orang sukses yang bergelimang harta dan kehormatan, meskipun saya tetap mengusahakan itu.

Tetapi kembali lagi, cita-cita terbesar saya adalah menjadi seorang ibu rumah tangga, mungkin ringan ya menurut orang lain, dan banyak juga kali yang jadi ibu rumah tangga tanpa menjadikan itu cita-cita, tetapi bukankah sedikit ibu rumah tangga yang memilih untuk mengantarkan suaminya pergi bekerja setiap pagi dan menyambutnya ketika pulang, yang lebih jauh sedikit sekali ibu rumah tangga yang bersungguh-sungguh mencetak generasi muslim terbaik.

Jadi itulah akhir dari cita-cita saya yang ber-evolusi itu, kita diberi hak kok untuk menjadi wanita karir, dan ini tentang prioritas ya, prioritas setiap orang kan berbeda-beda, juga kita lihat saja garis hidup yang sudah diberikan Allah, bisa saja cita-cita saya menjadi seorang ibu rumah tangga berharapnya sih di usia muda, nah kalau ternyata saya menikah di usia tua, kan tidak ada yang tahu juga.

Apalagi jangan-jangan usia saya tidak sampai kepada pernikahan, kan siapa yang tahu juga, jadi memang kita butuh planning tetapi jangan sampai planning itu membuat kita tak mau berpasrah pada kehendak-Nya.
Previous
Next Post »
0 Komentar